Navigasi

Daster Ibu

 


"Bu ... Bu ... Apa enggak ada baju lagi. Kok Bapak lihat Ibu pakai daster itu terus," sindir pak Jono kepada istrinya, Nur Asiyah.

"Oalah, Pak. Ini daster kesukaan Ibu. Pakaian ini adem, lebih adem dari sindiran Bapak tuh," balas Nur, lalu pergi meninggalkan Jono. Dia membawa pergi kotak jahit. Rencananya, pagi ini dia ingin menjahit kancing dasternya. Namun, sindiran suaminya itu membuatnya harus mencari tempat yang aman.

Nur tersenyum mendengar sindiran suaminya itu. Dia sudah terbiasa dengan sindiran yang diucapkan oleh siapa saja  tentang daster yang dia pakai. Termasuk sindiran dari suaminya sendiri. 

Sindiran itu tidak hanya diutarakan oleh suaminya. Tetangga di samping rumahnya pun tahu kalau Nur selalu memakai daster kucel bin kumel. Ah, itu memang daster yang paling disukai Nur. 

Sebenarnya di lemari pakaian Nur ada banyak daster yang bisa dipakai. Daster batik bercorak bunga kecil, dengan warna coklat dan hijau di beberapa bagian kini sudah mulai memudar. Jono membelikan daster itu sebagai hadiah pernikahan mereka yang ke-2. 

Sejak pertama kali dibelikan, daster itu sudah ratusan kali dipakai. Sungguh daster yang awet! Selain warnanya yang sudah terlihat pudar, daster kesayangannya Nur ini sudah beberapa kali hilang kancing.

"Kenapa lagi, Bu?" tanya Jono kembali saat melihat Nur clinggak-clingguk meneropong ke bawah meja dan lemari.

"Oh, kancing daster Ibu lepas, Pak. Sekarang jatuh entah di mana. Kalau Bapak ketemu, kasihkan kepada Ibu ya," jawab Nur tanpa memandang Jono.

"Ibu ... Ibu .... Sudah berapa kali sih daster itu kehilangan kancing? Apa enggak mau beli daster baru?" tanya Jono mencoba untuk menghentikan aksi Nur.

"Ah, Bapak! Daster ini banyak kenangannya! Bapak lihat lemari Ibu, penuh dengan daster!" ucap Nur sedikit gusar.

Jono melangkahkan kakinya ke arah lemari pakaian Nur. Betul, ada tumpukan daster batik di sana. Semuanya dia yang membelikan. Jono menepuk dahinya sendiri. Dia tidak sadar bahwa kesukaannya membelikan daster batik membuat lemari Nur penuh dengan daster batik.

"Nah, pakai yang ini aja, Bu. Ini batik Pekalongan loh. Adem juga," sodor Jono kepada Nur yang masih meneropong lantai.

Seketika Nur menoleh ke arah Jono, lalu meraih daster yang diberikan oleh Jono. Sepintas, daster itu terlihat cantik. Warnanya juga menarik dan cerah. Tampaknya daster itu juga adem.

"Ibu enggak mau!" tolak Nur sambil melepaskan tangannya dari daster itu.

"Loh, kenapa, Bu? Kan ini bagus. Adem lagi!" sanggah Jono.

"Pokoknya, Ibu enggak mau! Ibu mau daster ini. Kan tinggal ganti kancing saja," jelas Nur sambil memajukan bibirnya.

Jono menggeleng dan meletakkan daster yang diberikannya tadi pada sandaran kursi makan. Ya, Nur masih bersikeras dengan daster jadulnya itu dan mencari kancing yang terjatuh.

"Yeay! Huh, syukurlah!" desah Nur dengan posisi yang sudah berdiri.

"Akhirnya kancingnya ketemu juga, Pak," ujar Nur dengan senyuman seperti kuda.

Melihat senyuman Nur, Jono buru-buru pergi. Dia tidak tahan  melihat kelakuan istrinya selanjutnya. Dia dapat pastikan kelakuan berikutnya lebih parah dari sekedar meneropong lantai.

"Huh! Dasterku sayang, jagain kancingnya ya. Jangan sampai terlepas lagi loh. Aku enggak mau cintaku terlepas dari mas Jono!" serunya sambil memeluk daster yang baru saja  akan dibenari kancingnya itu.

***"Sudahlah, Bu. Memang daster ini harus segera dimuseumkan. Lihatlah, tidak pantas Ibu yang cantik ini memakai daster yang sudah tua," bujuk Jono.

"Bapak hanya bisa ngomong! Daster ini sangat penting bagi Ibu!" sergah Nur yang tiba-tiba menangis sesegukkan.

Pagi ini daster yang dipakai Nur tersangkut paku di dapur. Akibatnya, terdapat robekan yang panjang dan tak beraturan di bagian belakang. Nur bisa saja menjahitnya, tetapi tidak akan rapi seperti semula.

"Bapak tahu, daster ini mengingatkan Ibu pada calon anak kita dulu. Ibu ingat waktu Ibu positif hamil dan Bapak selalu mengelus perut Ibu. Ah, kenangan itu yang tidak bisa Ibu lupakan, Pak," tangis Nur.

Jono mendekati Nur. Ternyata, selama 5 tahun pernikahan mereka, yang belum dikaruniakan anak, Nur menyimpan kenangan bersama calon bayinya pada daster kesayangan. Jono baru mengetahuinya.

"Iya, Bu. Semoga, Ibu segera hamil lagi ya. Mungkin Ibu harus mencoba daster yang lain agar Ibu terlihat lebih cantik dan bersemangat. Ibu enggak usah memikirkan hamil, yang penting pikiran Ibu sehat," nasihat Jono sambil memeluk istrinya.

Nur hanya mengangguk. Dia berharap bayi mungil menghiasi rumah tangganya. Pasti dia tidak akan kesepian lagi. Bila doanya dikabulkan, mungkin daster kumal ini akan dilengserkan. Siapa tahu.

"Sekarang, kita simpan ya, Bu," ucap Jono sambil berniat mengambil daster itu dari pelukan Nur.

"Jangan, Pak. Biar Ibu jahit lagi.   Ini daster kesayangan Ibu," ucap Nur.

"Huh, kesayangan apa?"

"Ibu sayang, Pak. Daster ini membuat Ibu adem. Lihatlah bolongnya ada di mana-mana, Pak," jawab Nur sambil tertawa cekikikan.

"Dasar, Ibu!"

 

Surat Cintaku Untukmu, Wahai Diri

  Foto oleh John-Mark/pexels.com Untukmu diriku di Bumi Allah Dear diriku, Apa kabarmu, wahai diriku? Apakah kau masih setia kepadaku? Apaka...