Navigasi

Analisis Wacana

BAB I
PENDAHULUAN



1.1   Latar Belakang
Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan manusia berinteraksi dengan orang lain. Dengan menguasai berbagai bahasa, maka manusia bisa membuka jendela dunia dan memperoleh pengalaman yang sebelumnya mungkin tak terpikir bahkan membayangkannya.
Bahasa memiliki peranan yang sangat penting guna menuangkan ide pokok pikirannya, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Ketika sesorang mengemukakan gagasan, yang perlu diperhatikan bukan hanya kebahasaan melainkan juga harus ada pemahaman. Dengan adanya pemahaman, maksud dan tujuan pun akan tersampaikan secara jelas.

1.2   Masalah
Pada makalah ini, yang menjadi permasalahan adalah tentang relasi gabungan, hubungan antarkalimat, dan konteks dalam memahami suatu wacana.

1.3   Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui relasi gabungan pada wacana, hubungan antarkalimat, konteks pada wacana itu, dan  sebagai bahan presentasi pada mata kuliah ‘Analisis Wacana’ Program Pascasarjana Universitas PGRI Palembang.




BAB II
PEMBAHASAN



Dalam wacana lisan atau tulisan terdapat berbagai unsur seperti pelaku perbuatan, penderita, perbuatan, pelengkap perbuatan, perbuatan yang dilakukan oleh pelaku dan tempat perbuatan. Contoh,
Wati duduk di serambi muka, wajahnya sayu dan matanya tergenang oleh air mata kepedihan. Kata terakhir dari mas Gombloh telah menyobek-nyobek kepingan hatinya yang makin hari menipis..

2.1 Relasi  Gabungan
Ada kalimat,’Dia sanggup. Mereka berjalan pelan-pelan.’
Kata,’Dia sanggup’ tidak diketahui maknanya. Kita baru dapat mengintrpretasikan kalimat itu sesudah membaca kalimat kedua. Jika kita ditanya berapa macamkah relasi antara kalimat pertama dengan kedua ?
Dia sanggup adalah kalimat ellips. Mereka adalah referensi dari mereka yang tidak diucapkan pada kalimat pertama., dan yang terakhir perulangan kata mereka pada kalimat kedua. Dengan demikian terdapat 3 hubungan antara kalimat pertama dengan yang kedua, yaitu ellips, referensi, dan leksikal repetisi.
Kalimat itu secara lengkap : Dia sanggup (mengejar mereka). Mereka berjalan perlahan-lahan. Relasi yang kita dapati disini adalah relasi gramatikal dan relasi leksikal. Ellips adalah relasi gramatikal sedang perulangan kata seperti kata mereka di atas, adalah relasi leksikal. Substitusi dan referensi adalah relasi gramatikal juga.
Contoh pada pusi :
Bila sampai waktuku
Ku mau tak seorang pun merayu
Ada dua relasi, yaitu konjungsi dan perulangan. Kata bila pada baris pertama menghubungkan kedua baris itu, dan kata ‚ku’ pada baris kedua sebagai perulangan kata’ ku’ pada baris pertama.
Kita tidak dapat menafsirkan satu kalimat di antaranya tanpa mengetahui kalimat yang lain. Ada  juga kalimat yang tidak diikat secara formal, tetapi kita tahu berhubungan karena ada relasi pragmatiknya.
Contoh :
Ada orang sedang mengetuk pintu.
Saya sedang mandi.
Pada kedua kalimat ini tidak terdapat relasi (penghubung), referensi, substitusi, ellips, maupun konjungsi yang lain.

2.2 Hubungan Antarkalimat
Hubungan ini terdiri dari 4, yaitu :
1. True and Connected (Benar dan berhubungan)
Contohnya :
  1. Dia lulus ujian akhir.
  2. Dia rajin belajar.
2. True and Disconnected (Benar, tapi tidak berhubungan).
Contohnya :
  1. Kalimat-kalimat dapat dihubungkan dengan berbagai cara.
  2. Kalimat perintah adalah kalimat dengan memakai intonasi perintah.
3. False and Connected (Salah, tetapi berhubungan)
Contoh :
  1. Pelajaran bahasa Indonesia diberikan sejak TK sampai perguruan tinggi.
  2. Pada perguruan tinggi pelajaran bahasa Indonesia diberikan 8 semester.
4. False and Disconnected (Salah dan tidak berhubungan)
a. Cara-cara menghubungkan kalimat ada 10 macam.
b. Kalimat-kalimat tanya berintonasi sama dengan kalimat berita.
Hubungan antarunsur yang membentuk wacana dinyatakan oleh Moeliono, dkk (dalam Djajasudarma.2006: 3) adalah apa yang disebut rentetan kalimat yang berkaitan sehingga terbentuklah makna yang serasi antara kalimat-kalimat itu ; atau wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain membentuk satu kesatuan.

2.3 Konteks
Konteks wacana terdiri atas berbagai unsur seperti situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat, adegan, peristiwa, topik, bentuk amanat, kode, dan sarana (dalam Dardjowidjojo.2003 : 421).
Konteks pemakaian bahasa dapat dibedakan menjadi empat macam (dalam Lubis, 1993: 58), yaitu :
  1. Konteks fisik, yang meliputi tempat terjadinya pemakaian bahasa dalam suatu komunikasi, objek yang disajikan dalam peristiwa komunikasi itu dan tindakan atau perilaku dari para peran dalam peristiwa komunikasi itu.
  2. Konteks epistemis atau latar belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh pembicara atau pendengar.
  3. Konteks linguistik, yang terdiri dari kalimat-kalimat atau tuturan-tuturan yang mendahului satu kalimat atau tuturan tertentu dalam peristiwa komunikasi.
  4. Konteks sosial, yaitu relasi sosial dan latar seting yang melengkapi hubungan antara pembicara dengan pendengar.
Keempat konteks tersebut mempengaruhi kelancaran komunikasi. Ciri-ciri konteks harus dapat diidentifikasikan untuk menangkap pesan si pembicara. Dengan konteks linguistik, kita dapat berkomunikasi dengan baik, namun harus dilengkapi dengan konteks fisiknya, yaitu dimana komunikasi itu terjadi, apa objek yang dibicarakan dan begitu juga bagaimana tindakan si pembicara. Kita pun harus melengkapi dengan konteks sosial dan epistemiknya.


Presupposisi (Praanggapan)
Praanggapan (presupposition) adalah cabang dari kajian pragmatik yang berhubungan dengan adanya makna yang tersirat atau tambahan makna dari makna yang tersurat.
Menurut Kridalaksana (dalam Chaniago.2001: 4.20), praanggapan adalah syarat yang diperlukan bagi benar tidaknya suatu kalimat. Misalnya ia berdagang adalah praanggapan bagi kebenaran kalimat barang dagangannya sangat laris.
Contoh : Berapa batang sehari kamu merokok ?
Kalimat itu adalah bentuk kalimat tanya yang mengandung makna menanyakan jumlah batang rokok yang diisap oleh seseorang dalam sehari. Makna tersebut disebut juga sebagai makna yang tersurat atau secara eksplisit. Ternyata  kalimat itu tidak hanya mengandung makna tersurat, tetapi juga mengandung makna yang tersirat/ implisit. Dari kalimat itu kita dapat beranggapan, “ Kamu biasa atau suka merokok.”
Bentuk pragmatik berdasarkan praanggapan terdiri dari 2 bentuk, yaitu :
1.       Praanggapan Semantik
Praanggapan semantik adalah praanggapan yang dapat ditarik dari pernyataan atau kalimat melalui leksikon atau kosakatanya.
Contoh :
Seseorang mengatakan :
  1. Ade tidak jadi pergi.
  2. Sepeda motornya mogok.
Dari kata-kata yang ada dalam pernyataan itu dapat ditarik praanggapan sebagai berikut ;
  1. Ade seharusnya pergi.
  2. Ade mempunyai sepeda motor.
2.       Praanggapan Pragmatik
Praanggapan pragmatik adalah anggapan yang ditarik berdasarkan konteks suatu kalimat atau pernyataan itu diucapkan. Konteks disini dapat berupa situasi, pembicara, lokasi, dan lain-lain.
Contoh :
Suatu waktu ada seorang tamu ke rumah Tono. Tono pun mempersilakannya masuk dan duduk. Ternyata tamu itu teman Tono di SMA dulu. Dia bernama Santo yang sampai saat ini belum bekerja.
Santo :“ Aku merasa capai sekali karena berjalan kaki terlalu jauh. Tidak ada kendaraan.“
Tono  :“ (Segera ke belakang mengambil air minum dan ia mempersilakan Santo meneguknya).
Santo     :“ Terima kasih. Kau tahu benar aku merasa haus.“
Saat bercerita, Tono berpraanggapan :
  1. Ada sesuatu yang akan diminta Santo.
  2. Santo ingin minum.
Ada juga praanggapan semantiknya, yaitu ;
  1. Santo merasa capai.
  2. Tidak ada kendaraan di jalan.
Soemarno (dalam Chaniago.2001: 4.21) memberikan contoh praanggapan :
1. Gambaran yang tertentukan
Anak di belakang rumah itu anak manja.
Praanggapannya : Ada anak di belakang rumah.
2. Kata verbal yang mengandung kenyataan
Marta (tidak) menyesal membuang benda itu.
Praanggapan : Marta membuang benda itu.
3. Kata verbal implikatur
Saya berhasil menipu anak itu.
Praanggapan : Saya menipu anak itu.

4. Kata verbal yang mengganti keadaan
Dia sudah/belum selesai membaca surat itu.
Praanggapan : Dia membaca surat itu.
5. Pengulang
Dia kembali berkuasa.
Praanggapan : Dia pernah berkuasa.
6. Kata waktu
Aku (tidak) mencuci piring ketika Ali tidur.
Praanggapan : Ali tidur.
7. Kalimat yang ada topik atau fokusnya.
Yang menyanyi itu bukan Ali.
Praanggapan : Ada orang yang menyanyi.
8. Kata bandingan
Anak saya (tidak) bisa melompat sejauh Ali.
Praanggapan : Ali bisa melompat.
9. Apposisi renggang
Pencuri itu, yang sedang ditangkap itu, masih muda.
Praanggapan : orang itu ditangkap.
10. Kondisional yang berlawanan
Kalau/ Andaikata anak itu tidak bangun sebelum jam 5, dia (tidak) akan melihat pencuri itu.
Praanggapan : Anak itu bangun sebelum jam 5.
11. Praanggapan pertanyaan
Kamu membeli apa di toko itu ?
Praanggapan : Kamu membeli sesuatu di toko itu.
Tuturan yang berbunyi,’ Mahasiswa tercantik di kelas ini pandai sekali’, mempraanggapkan adanya seorang mahasiswi yang berparas sangat cantik. Apabila pada kenyataannya memang ada seorang mahasiswi yang berparas sangat cantik di kelas itu, tuturan di atas dapat dinilai benar atau salahnya. Tuturan itu tidak semata-mata dimaksudkan untuk memberitahu si mitra tutur bahwa ia harus melakukan seperti yang dimaksudkan di dalam tuturan itu melainkan ada sesuatu yang tersirat dari tuturan itu yang harus dilakukannya, seperti misalnya mencari alamat kantor atau nomor telepon si penutur. (dalam Rahardi. 2009: 42).
Gottlob Prege mengatakan bahwa nama (atau kata benda yang dipakai baik sederhana atau majemuk mempunyai suatu rujukan (reference). Jika orang mengatakan Kepler meninggal dalam kesengsaraan, maka ada pranggapan bahwa nama Kepler merujuk kepada suatu benda atau kepada seseorang yang nyata (dalam Lubis, 1993: 59).
Contoh :
Kuliah analisis wacana diberikan di semester V.
Praanggapannya adalah : (1) Ada kuliah analisis wacana (2) Ada semester V
Praanggapan Strawson ini adalah pranggapan pragmatik yang berbeda dengan praanggapan semantik. Suatu kalimat A berpraanggapan semantik, jika :
  1. Dalam semua keadaan dimana A benar, maka B juga benar.
  2. Dalam semua keadaan dimana A tidak benar, maka B (tetap) benar.
Perbedaannya adalah pada praanggapan semantik hubungan antarkalimat, sedangkan pada praanggapan semantik adalah hubungan antara pernyataan.
Teori praanggapan pragmatik biasanya menggunakan dua konsep dasar, yaitu kewajaran dan pengetahuan bersama. Bila praanggapan dapat ditarik dari pernyataan itu melalui leksikonnya, maka praanggapan itu adalah praanggapan semantik. Bila hanya dapat ditarik melalui konteksnya, maka praanggapan itu adalah praanggapan pragmatik.
Contoh praanggapan pragmatik :
‘Harganya murah benar’, sebagai jawaban pertanyaan,” Berapa harganya?”
Praanggapan tak dapat kita berikan kalau konteksnya tidak kita ketahui karena mungkin kata ‘murah’ itu berarti ‘mahal sekali’. Praanggapan adalah sesuatu yang dijadikan  oleh pembicara sebagai dasar pembicaraan.
Asorsi adalah pikiran si pembicara tentang  praanggapan itu. Contoh : Tidak aneh dia setuju. Praanggapannya ‘dia setuju’. Asorsinya adalah tidak aneh.

Inferensi (Implikatur)
Berbeda dengan pengacuan, inferensi adalah proses yang harus dilakukan oleh pendengar atau pembaca untuk memahami makna yang secara harfiah tidak terdapat dalam wacana yang diungkapkan oleh pembicara atau penulis.
Grice (dalam Wijana. 1996: 37) mengemukakan bahwa sebuah tuturan dapat mengimplikasikan proposisi yang bukan merupakan bagian dari tuturan bersangkutan. Proposisi yang mengimplikasikan itu disebut implikatur.
Inferensi pembicaraan (percakapan) adalah proses yang ditentukan oleh situasi dan konteks. Dengan itu si pendengar dalam percakapan menduga kemauan si pembicara, dan dengan itu pula si pendengar memberikan responnya. (dalam Lubis,1993: 68). Menurut Gunpers, inferensi percakapan itu ditentukan oleh situasi dan konteks, tidak selalu oleh kata-kata pendukung kalimat itu.
Kalimat : Dia belum. Atas pertanyaan,’Si A sudah sampai’, menunjukkan bahwa secara semantik apa yang dimaksud dengan ‘Dia belum’ tidak diketahui. Maksud kalimat ‘Dia belum’ itulah yang dikatakan implikatum (apa yang diimplikasi) dan gejala itu disebut implikatur. Konsep implikatur dipakai untuk menerangkan perbedaan yang sering terdapat antara ‘apa yang diucapkan’ dengan apa yang diimplikasikan (implikatum) (dalam Lubis,1993: 70).
Menurut Levinson (dalam Lubis, 1993: 70) ada 4 macam faidah konsep  implikatur, yaitu :
  1. Dapat memberikan penjelasan makna atau fakta-fakta kebahasaan yang tak terjangkau oleh teori linguistik.
  2. Dapat memberikan penjelasan yang tegas tentang perbedaan lahiriah dari yang dimaksud si pemakai bahasa.
  3. Dapat memberikan pemerian semantik yang sederhana tentang hubungan klausa yang dihubungkan dengan kata penghubung yang sama.
  4. Dapat memberikan berbagai fakta yang secara lahiriah kelihatan tidak berkaitan, malah berlawanan (seperti metafora).
Grice (dalam Lubis 1993: 72) menyatakan bahwa implikatur percakapan terdiri dari prinsip koperatif (apa yang diperlukan disaat terjadinya percakapan itu sesuai dengan tujuan percakapan) dan maksim percakapan (agar berbicara seperlunya, jelas, dan sesuai dengan yang dipermasalahkan).
Contoh :
(a)    Kami membeli rumah  (b) Pintunya dari kayu jati.
Yang hilang disini : © Rumah itu mempunyai pintu.
Dengan demikian pintu pada (c) itu adalah inference lain yang tidak diucapkan. Kalimat (c) itu tidak perlu diucapkan karena tidak perlu, semua orang tahu karena tiap-tiap rumah mempunyai pintu. Para ahli mengatakan bahwa jika hubungan itu ada secara otomatis, hubungan itu tidak dapat dikatakan inference. Contoh :
(a)    Di kampung itu banyak kerbau (b) Tanduknya panjang-panjang.

Informasi Lama dan Baru
Tiap-tiap kalimat mempunyai inferensinya. Tiap-tiap kalimat pasti ada sesuatu yang yang telah diketahui si pendengar. Praposisi adalah informasi yang telah diketahui oleh pembicara dan pendengar. Sesuatu yang telah diketahui oleh pembicara/ pendengar itu dinamakan informasi.
Contoh :
Kalau seseorang mengatakan,“ Saya lapar, maka informasi lamanya adalah saya dan informasi barunya adalah keadaan informasi lama itu, yaitu lapar. Bagian ujaran yang dapat diketahui dari : wacana yang telah lewat (secara anafora atau implikatur), dari berbagai aspek situasi tempat ujaran itu terjadi (unsur yang ditentukan oleh tempat dan waktu atau juga unsur yang menunjuk pelaku-pelaku yang terdapat dalam ujaran itu), dan dari pengetahuan kita sendiri.
Halliday (dalam Lubis, 1993: 79) menyatakannya dengan given yang merupakan bagian ujaran yang dapat diketahui dari : (1) wacana yang telah lewat (anafora/implikatur), (2) berbagai aspek situasi tempat ujaran itu terjadi, dan (3) pengetahuan kita sendiri. New adalah bagian ujaran yang tidak dapat diketahui dengan cara itu.
Dengan kata lain, given adalah sesuatu yang dapat kita ketahui secara anaforik atau dari situasinya. Given new itu bukan per wacana, tetapi per-kalimat, yang ditentukan oleh intonasi atau tekanan yang diberikan si pembicara.
Hubungan antara informasi lama-baru dengan subjek, yaitu ; subjek digunakan untuk struktur luar kalimat, sedangkan informasi lama-baru ini adalah struktur semantiknya.
Contoh : (1) Saya menulis surat, (2) Yang menulis surat saya, (3) Surat saya tulis, (4) Yang saya tulis surat, (5) Siapa namanya, (6) Kemana kau pergi? (7) Bagaimana hasilnya? (8) Tulislah surat itu? (9) Bacalah Koran itu ! (10) Ikutilah ujian itu ! (11) Berangkatlah (kau) sekarang!
Kesebelas kalimat ini terdiri dari 4 buah kalimat tanya (5-8) dan 4 kalimat perintah (9-11) mempunyai subjek. Semua subjek pada ke-11 adalah informasi lama, sedangkan predikatnya adalah informasi baru.
Sebuah kalimat dikatakan mempresuposisikan kalimat yang lain jika ketidakbenaran kalimat yang kedua (yang dipresuposisikan) mengakibatkan kalimat yang pertama (yang mempresuposisikan) tidak dapat dikatakan benar atau salah.
Contoh : (a) Buku Siti Nurbaya sangat memikat (b) Istri pejabat itu cantik sekali.
Kalimat (a) mempresuposisikan bahwa ada buku yang berjudul Siti Nurbaya. Bila memang ada buku yang berjudul seperti itu, kalimat (1) dapat dinilai benar dan salahnya. Akan tetapi, bila tidak ada buku yang berjudul Siti Nurbaya kalimat (a) tidak dinilai benar dan salahnya. Sementara itu, kalimat (b) mempresuposisikan pejabat itu mempunyai istri. Bila memang pejabat yang dimaksud mempunyai istri, kalimat (b) dapat dinilai benar dan salahnya. Akan tetapi, bila sebaliknya menjadi pernyataan, kalimat (b) tidak dapat ditentukan kebenarannya.


BAB III
KESIMPULAN


Kita tidak dapat menafsirkan satu kalimat di antaranya tanpa mengetahui kalimat yang lain. Ada  juga kalimat yang tidak diikat secara formal, tetapi kita tahu berhubungan karena ada relasi pragmatiknya.
Praanggapan (presupposition) adalah cabang dari kajian pragmatik yang berhubungan dengan adanya makna yang tersirat atau tambahan makna dari makna yang tersurat.
Inferensi adalah proses yang harus dilakukan oleh pendengar atau pembaca untuk memahami makna yang secara harfiah tidak terdapat dalam wacana yang diungkapkan oleh pembicara atau penulis.
Hubungan antarunsur yang membentuk wacana dinyatakan oleh Moeliono, dkk (dalam Djajasudarma.2006: 3) adalah apa yang disebut rentetan kalimat yang berkaitan sehingga terbentuklah makna yang serasi antara kalimat-kalimat itu
Tiap-tiap kalimat mempunyai inferensinya. Tiap-tiap kalimat pasti ada sesuatu yang yang telah diketahui si pendengar. Praposisi adalah informasi yang telah diketahui oleh pembicara dan pendengar. Sesuatu yang telah diketahui oleh pembicara/ pendengar itu dinamakan informasi.
Tiap-tiap kalimat mempunyai inferensinya. Tiap-tiap kalimat pasti ada sesuatu yang yang telah diketahui si pendengar. Praposisi adalah informasi yang telah diketahui oleh pembicara dan pendengar. Sesuatu yang telah diketahui oleh pembicara/ pendengar itu dinamakan informasi.




DAFTAR PUSTAKA



Chaniago, Sam Mukhtar dkk. 2001. Pragmatik. Jakarta : Universitas Terbuka.
Dardjowidjojo, Soenjono. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai
       Pustaka.
Djajasudarma, T. Fatimah. 2006. Wacana Pemahaman dan Hubungan Antarunsur.
       Bandung : Refika Aditama.
Rahardi, R. Kunjana. 2009. Pragmatik Kesantunan Imperaktif Bahasa Indonesia.
       Jakarta : Erlangga.
Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Offset.
Lubis, A. Ahmad Hasan. 1993. Analissi Wacana Pragmatik. Bandung : Angkasa.







RELASI GABUNGAN, HUBUNGAN ANTARKALIMAT, DAN KONTEKS DALAM WACANA


Oleh                                      : Meliana Aryuni
Dosen Pengampu            : Prof.Dr. Hj. Ratu Wardarita, M.Pd.





PROGRAM STUDI  BAHASA INDONESIA
PASCASARJANA UNIVERSITAS PGRI
PALEMBANG
2010

1 komentar:

  1. TERIMAKASIH
    ISI BLOK INI SANGAT MEMBANTU SAYA

    BalasHapus

Terima kasih telah berkunjung. Silakan berikan pendapatmu disini ya ^^

Fazzio di Hati, Keunggulannya Tidak Diragukan Lagi

Motor bukan lagi tentang seseorang itu memiliki uang atau tidak. Memiliki motor  sudah menjadi kebutuhan siapa saja pada masa kini, terutama...