Navigasi

Antara Aku dan Sungai

Bagaimana foto sungai di desaku ini. Untung saja teknologi sudah masuk ke desa ini sehingga aku bisa mengabadikannya di sini. Beberapa provider besar seperti sinyal telkomsel sudah mulai stabil di sini. Sungguh menarik semua cerita tentang sungai dan sayang bila tidak diabadikan. Aliran air tawar ini seketika membuat

aku teringat tentang sungai di tempat tinggal orang tuaku. Salah satu anak sungai Musi itu

terdapat di kabupaten Sumatera Selatan, tepatnya di desa Pengaturan, Musi Banyuasin,

Sumatera Selatan.

Anak sungai Musi

Bila aku ke kampung halaman orang tuaku itu, aku tidak akan lupa untuk merasakan

air sungai. Banyak cerita selama aku berada di sana. Sebagian cerita itu akan aku bagikan di

sini. Semoga ada hikmah yang bisa dipetik dari cerita sederhanaku ini.



Aku dan Desa Orang Tuaku


Kenalkan namaku Meli. Kedua orang tuaku adalah warga yang berasal dari daerah

yang dialiri sungai Musi meskipun berbeda wilayah. Kesamaan bahasa dan budaya sangat

kentara pada kedua orang tuaku. Inilah ceritaku saat berlibur di desa.


Aku ingat sekali liburan yang ditunggu-tunggu semasa SD dulu adalah berlibur ke

desa ibuku. Saat itu pemandangan alamnya sangat indah. Sejauh mata memandang, pohon

kopi menghiasi perkebunan warga.


Udara desanya juga masih sejuk karena masih banyak pepohonan. Pohon buah masih

banyak. Di kebun nenekku ada berbagai tanaman buah, mulai dari rambutan, durian, duku,

sawo, selentikan, pisang, pepaya, langsat, bahkan remanas (perpaduan leci dan rambutan)

yang baru kutahu pun di sana.


Bukan hanya itu, buah kopi dan getah karet menjadi mata pencarian penduduk di

sana. Kenanganku pada pohon kopi di kebun nenek itu sering kuceritakan kepada anak-

anakku. Oleh karena itu, mereka sering meminta kepadaku untuk pergi berlibur ke desa

nenekku.


Aku ceritakan tentang kenanganku di sana. Bila pagi tiba dan bertepatan dengan

musim kopi berbunga, aroma bunganya sungguh akan mengajakku untuk memetik buah kopi

yang sudah ranum untuk kucicip daging buahnya. Kalian tahu rasanya? Manis, Kawan! Rasa

itu membuatku terkenang dengan desa ibuku.


Sungai dan Kenanganku Padanya

Selain tanaman kopi, ada yang menjadi kenangan indah yang melekat di pikiranku

sampai berpuluh tahun ini. Kawan, di desa ibuku itu mengalir anak sungai Musi. Meskipun

sungai itu adalah anak sungai Musi, arusnya lumayan deras.

Tepi sungai


Menurut masyarakat di sana, keadaan sungai ini sudah tidak begitu lebar

dibandingkan dengan puluhan tahun yang lalu. Di sini aku mulai mengenal sungai. Bila mau

mandi, nenek akan mengajakku mandi di sungai.


Di sini pula aku mengenal ikan yang suka menggigit jari warga yang sedang mandi.

Aduh, ngeri banget waktu aku lihat seorang anak jari telunjuk kakinya terluka karena digigit

ikan ini. Teman-teman tahu ikan apa itu?


Ya, ikan buntal. Ikan ini bisa mengembungkan dirinya dan bersifat karnivora. Bila ada

warga yang kakinya menggantung di rakit (rumah dari kayu yang mengambang di atas air)

atau tempat mandi, maka siap-siap saja karena ikan buntal akan terus mengincar. Aku

bersyukur aku belum pernah mengalami kejadian yang menakutkan seperti itu dan semoga

tidak pernah terjadi


Ya, sudah, aku akan berhati-hati. Sebisa mungkin aku tidak akan menjulurkan kakiku

di bawah rakit. Bila berenang pun, aku tetap berada di dekat nenek karena aku belum bisa

berenang. Nenek berusaha mengajariku berenang dengan memakai pelampung labu

(sebutanku).


Labu itu dibuat dari sebuah pohon yang memiliki buah dengan batok/kulit yang keras,

tapi bukan kelapa loh. Kata nenekku itu adalah jenis labu yang buahnya tidak bisa dimakan.

Di pangkal buah dibuat 2 lubang. Fungsinya untuk mengikat tali yang terbuat dari rotan.

Setelah itu, dijemur agar lebih awet dan bisa dipakai untuk anak-anak yang ingin belajar

berenang seperti aku.


Di tepi sungai itulah aku belajar berenang dengan pelampung batok labu yang dibuat

nenek. Nenek akan mengajariku sambil memegang salah satu tanganku dan satu tangan lagi

kugunakan untuk memegang labu. Lalu, nenek mengajakku ke tempat yang landai untuk

berenang.


Sungai ini menjadi tempat aktivitas masyarakat. Mulai dari mencuci, mandi, dan

minum. Awal berlibur ke sana, sebenarnya aku sempat jijik bila minum air di sana, tapi mau

bagaimana lagi. Semua warga menggunakan air sungai untuk semua keperluan termasuk

minum dan masak. Kebiasaan itu sudah terjadi di masa lalu, sebelum air PDAM masuk desa

ini. Sekarang, air sungai ini hanya digunakan untuk mandi dan keperluan mencuci.


Umè

Oh iya, ada hal lain yang juga kukenang bersama sungai ini. Suatu ketika nenekku

mengajakku ke umè (sebutan kebun yang jauh dari desa). Umè itu terletak di seberang

sungai. Yang berarti bahwa kami harus menggunakan perahu.


Ada yang unik dari perjalanan kami kala itu. Seiring laju perahu yang kami tumpangi,

seiring itu pula kami harus menyerok air yang memenuhi lantai perahu. Saat itu, aku pikir

kami kapan saja bisa tenggelam. Ternyata tidak. Kami selamat hingga sampai ke seberang.


Tahun 2022 kemarin aku kembali ke desa ibuku lagi, tetapi pemandangan di sana

sudah jauh berbeda. Udaranya tidak sesejuk dulu dan cenderung panas seperti udara

perkotaan tempatku tinggal sekarang ini. Yang membuatku agak kaget adalah saat melihat

sungai yang bisa menjadi incaranku kalau ke sana.


Sungai itu tampak mengecil dan airnya tampak kuning keruh, tidak bening seperti

dulu. Sesekali beberapa warga terlihat mandi dan mencuci karena banyak yang sudah

membuat kamar mandi dan jamban di rumah. Sedih sekali melihat suasana sungai saat itu.

Tampak mencekam.

Danau aliran sungai


Aku sendiri senang dengan keberadaan PDAM yang masuk ke desa itu, tetapi

keberadaan sungainya sedikit terancam. Makin sedikit yang memanfaatkan air sungai. Entah

mengapa ikan-ikan yang biasa berenang di sana sangat sulit ditemukan. Aku berharap sungai

ini tetap terjaga dari sampah dan aktivitas yang merugikan ekosistem hewan di sana.


Ketika kita menginginkan kehidupan yang nyaman, maka tak ada salahnya untuk bergerak menjaga sumber kehidupan kita. Bersusah payah dahulu, baru merasakan hasilnya.

4 komentar:

  1. Wah syahdu rasanya membayangkan masa kecil bersama nenek mbak. Btw itu buah sletikan sama sama yang perpaduan leci itu masih asing bagiku. Kalau yang bikin sungai mengecil itu apa ya mbak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mbak. Sekarang sudah ga pernah lagi lihat buah remanas, selentikan juga sudah jarang, Mbak. Sekarang, lahan perkebunan kopi itu dijadikan kebun sawit, Mbak 😭

      Hapus
  2. Kasihan ya mbak anak-anak sekarang mungkin tidak banyak yang punya kenangan seperti ini. Semoga tulisannya bisa memberikan gambaran buat yang belum merasakan. Baca ini jadi mengingatkan saya juga tentang momen-momen seru main di sungai. Sayangnya, sekarang sungai tempat saya bermain dulu sudah penuh sampah. Aliran airnya tersendat. Jangan merasa aman kalau ke sungai, karena bisa jadi pecahan beling tersebar di mana-mana. Tidak seperti dulu saat masih kecil.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya, Allah. Kalau sudah seperti itu, gimana anak-anak desa menikmati mandi di sungai. Kesadaran masyarakat kita dalam menjaga lingkungan memang sangat minim, Mbak.

      Hapus

Terima kasih telah berkunjung. Silakan berikan pendapatmu disini ya ^^

Age Revival Theraskin: Muda Itu Mudah, Tak Perlu Susah

   "Cantik alami, impian sekali!" Ketika seorang wanita disebut cantik, ada rasa yang membuat kedua ujung bibir seakan terangkat. ...